
Sahabat Bayangan yang Tercipta dari Kesendirian
Akan ada pelangi setelah hujan dan badai, akan ada senyuman dan tawa setelah amarah, kecewa, dan tangis. Inilah jalan yang selama ini Ana tempuh: setiap saat harus berusaha menjadi baik agar tidak ditolak, ditinggalkan, ataupun dilupakan, mesti berusaha sekuat mungkin, sesetia mungkin, menebar manfaat sebesar mungkin, dan berjuang seluar-biasa mungkin.
Semua itu Ana lakukan agar disukai dan memiliki banyak teman. Namun, semua itu sangattttt melelahkan, lebih melelahkan dari seribu kesendirian. Banyak tuntutan, banyak hal yang harus dijaga, dan setiap hari tak berhenti berpikir apa yang harus diperbuat agar selalu disukai.
Ana, anak semata wayang dari keluarga sederhana. Ayah dan ibu Ana pekerja keras, setiap hari harus pergi pagi pulang malam. Sedari kecil Ana lebih sering diasuh oleh mbok Surti, pembantu rumah tangga mereka. Ana menghabiskan waktu dengan bermain sendiri di dalam rumah, ditemani mainan dan televisi tua. Terkadang, mbok Surti menemani Ana bermain. Ia merasa kasihan, Ana tak memiliki teman dan lebih suka bermain sendiri.
Memasuki usia remaja, Ana mulai banyak berpikir. Banyak hal tersimpan saja di benaknya, karena ayah dan ibunya tidak cukup punya waktu untuk mendengarkan pertanyaannya. Di rumah, Ana lebih sering sendiri, begitu pula di sekolah. Dikenal oleh kawan-kawan sekolahnya sebagai gadis pendiam, hingga kawan-kawannya kerap bermain tebakan tentang berapa kali Ana akan berbicara pada hari itu. Ketika ada keramaian, Ana memilih untuk sendirian. Ia merasa lebih tenang dan lebih menyukainya.
Ana termasuk anak yang rajin dan pintar, namun setiap kali ia dipilih untuk mengikuti lomba Olimpiade, Ana selalu menolak. Setiap ditanya alasannya, Ana selalu menjawab tidak ada. Guru-gurunya menjadi khawatir pengetahuan dan perkembangan Ana akan terhambat. Namun ternyata Ana lulus dengan nilai yang sangat baik.
Hingga tibalah Ana harus memasuki salah satu universitas yang ada di kota: Bandung. Minggu depan ia harus berangkat. Ana senang dapat melanjutkan pendidikan, tapi perubahan ini juga membuatnya khawatir. Memikirkan bagaimana akan bertemu orang baru, berada di tempat baru, menjalani kebiasaan baru, dan menghadapi tuntutan baru mulai membuat Ana gelisah. “Bagaimana aku harus menghadapi semua ini?”
Selama sepekan terakhir menjelang keberangkatannya, pertanyaan ini selalu menghantui pikiran Ana. Ia terus berpikir, bagaimana cara menyapa orang baru, berbicara dengan baik agar orang bisa memahami apa yang ia bicarakan, apa yang harus ia lakukan agar bisa menyenangkan orang lain dan tidak menyinggung perasaan mereka. Kebingungan mulai mendatangi pikirannya: aku harus mulai dari mana dan harus seperti apa?
Hingga kemudian perjalanan panjang mengantarkan Ana tiba di asrama kuliahnya. Memasuki kamar tidurnya yang baru, yang tak begitu luas, ia sempat terkejut sebab di sana sudah ada dua gadis lain yang tengah berbincang. Lupa memperkenalkan diri lebih dulu, Ana langsung menuju ranjang yang masih kosong di bawah tatapan mata kedua gadis sebayanya itu. Mendadak Ana tersadar dan berusaha memperbaiki sikapnya, “Oh iya, maaf, eh… saya Ana,” ujarnya sambil mengulurkan tangan bergantian kepada kedua gadis itu. Ia ingin membuka percakapan, tapi segera pula ia mengurungkan niatnya. “Bagaimana kalau mereka bertanya macam-macam?”
Beberapa hari berlalu dalam kesendirian, akhirnya Ana mulai mencari teman untuk berbicara. Dan seperti yang sudah ia pikirkan dengan cermat, setiap hari Ana selalu berusaha supaya disukai dan dianggap oleh teman-temannya. Setiap saat pula Ana selalu berpikir tentang apa yang harus ia lakukan agar tidak ditinggalkan dan dilupakan oleh teman-temannya.
Namun pada akhirnya Ana pun merasa lelah dengan semua itu. Ana mulai menyendiri dan menutup diri dari temannya. Ia berbicara sedikit saja, dan mulai jadi pendiam seperti biasanya. Ana merasa tidak akan pernah menemukan sosok sahabat yang sesungguhnya. Ia merasa, teman-teman kuliah memang ingin berteman, tapi juga serba menuntut ini dan itu, yang membuat dirinya tidak nyaman.
Sejak itu, Ana memilih berteman dengan bayangan, teman tak kasat mata, tapi ada dalam pikiran dan hatinya. Setiap saat Ana selalu ditemani oleh bayangan imajinasinya, ya sahabat bayangan. Bagi Ana, sahabat bayangan adalah hal yang tidak begitu buruk, sebab bayangan tidak pernah menuntut drinya untuk selalu sempurna dan berguna. “Dialah teman yang kuimpikan,” kata Ana. “Ia selalu ada tanpa kuminta, ia tak pernah pergi walau aku sakiti, setiap saat ia selalu bersamaku tanpa aku khawatir akan kehilangan.”
Sesungguhnya, teman bayangan itu bukan teman baru Ana ketika ia tinggal di asrama. Ia sudah hadir dalam hidup Ana semenjak Ana lahir ditambah lagi dengan kematian orang tuanya. Saat itu Ana benar-benar jatuh dan terpuruk.
Di asrama, untuk mengusir kesendiriannya, Ana kadang-kadang mengikuti kajian yang secara rutin diisi Aa Gym, nama panggilan untuk al ustadz KH. Abdullah Gymnastiar. Walau tak menyukai keramaian, ia berusaha mengatasinya karena ingin mendengarkan ceramah Aa Gym. Hingga kemudian ia tersentuh oleh salah satu pesannya bahwa tujuan hidup yang sesungguhnya adalah Allah SWT. “Kita hidup hanya untuk Allah SWT, kita melakukan segalanya hanya untuk Allah SWT. Biar apa kata orang, biar orang menjauhi kita, asalkan Allah SWT selalu bersama kita. Lebih baik kita kehilangan sesuatu daripada kehilangan Allah SWT,” ujar Ustadz Aa Gym. “Jika ingin hidup bahagia, maka sesungguhnya kebahagiaan itu terletak pada hati yang tenang, dan hati yang tenang hanya akan tercipta dari rasa yakin dan syukur kepada Allah SWT.”
Sepulang dari kajian, Ana merasa bahwa inilah teman sejati yang selama ini ia cari, bukan teman bayangan. Dialah Allah SWT, tempat ia dapat bercerita tentang apapun, tempat ia meminta solusi atas persoalan apapun. Ana pun mulai sering berdoa dan bercerita banyak kepada Allah SWT. Ketika menghadapi masalah, kepada Rabb-nya Ana mencurahkan isi hatinya, yang membuat ia merasa lebih tenang dan nyaman.
Tumbuhnya rasa cinta Ana membuat dirinya merasa Allah SWT memberikan hidayah kepada dirinya, dan membuatnya merasa semakin dekat dengan Robb-nya. Setiap hari ia selalu bercerita dan berbicara dengan Robb-nya. Setiap luka dan lelah selalu ia ceritakan kepada Robb-nya. Tanpa ia harus meminta, Ana merasa Allah SWT selalu ada untuk segala cerita dan lukanya. Hingga akhirnya Ana merasakan hakikat kesendirian tanpa merasa kesepian.
Saat Ana menyelesaikan studinya, ia tak pernah menyesal hidup sendiri sebab ia selalu ditemani oleh Robb-nya. Ia merasa senang karena sudah menemukan dirinya yang baru. Kini ia mulai terbiasa menghadapi orang-orang yang datang kepadanya hanya sebatas karena penasaran, lalu mereka pergi meninggalkannya setelah tahu kekurangan dirinya. >>>