
Takdir Indah yang tak Terduga
Suasana pagi yang cukup mendung, tidak menurunkan semangat santri Daurah Qalbiyah untuk menuntut ilmu. Berkumpul dalam lingkaran majlis ilmu, santri Daurah Qalbiyah ini sangat antusias dalam kumpulan yang sering di sebut halaqah. Mereka merasa senang karena mendapatkan ilmu baru dalam perkumpulan halaqah tersebut.
Di lingkungan Daarut Tauhiid terdapat beberapa program pendidikan pesantren non-formal, Daurah Qalbiyah salah satunya. Diadakan sebagai wadah belajar bagi siapa saja yang berniat menata dan memperbaiki hati. Program yang berada dalam naungan Yayasan Daarut Tauhiid Rahmatan Lil ‘Alamiin ini berlangsung selama satu bulan. Di tempat inilah, Dian Novita Sari, atau yang sering disapa Teh Dian, menjalani kegiatan baru. Bagi Teh Dian, ini merupakan lingkungan baru yang memberikan tantangan.
Wanita kelahiran Garut yang masih berumur 21 tahun ini harus dihadapkan dengan takdir yang tidak pernah direncanakan, bahkan tidak ia inginkan sebelumnya. Berawal dari ajakan seorang teman untuk menjadi musyrifah di salah satu pesantren besar di Bandung, Teh Dian tertarik untuk mengambil tawaran tersebut. Sebelumnya, Teh Dian berpikir akan membimbing santri yang masih remaja, seperti santri tingkat SMP, SMA, atau SMK, namun ternyata semua di luar dugaan. Teh Dian beliau harus membimbing santri berkisar umur 17-40 tahun, yang kebanyakan berumur 20 tahun ke atas. Hal ini menjadi tantangan sendiri baginya karena sebelumnya ia hanya berpengalaman mengurus dan membimbing anak-anak usia SD.
![]() |
Program DQ biasanya diminati oleh mereka yang ingin hijrah dalam kebaikan, orang yang benar-benar ingin memperbaiki hati, dan orang yang ingin mengisi waktu luangnya selama 1 bulan untuk belajar agama. Program ini juga diikuti oleh mereka yang kesehatan mentalnya kurang baik. Bergabung di angkatan ke-99 Daurah Qalbiyah, Teh Dian dipertemukan dengan peserta yang mengidap gangguan kesehatan mental bipolar. Di tempat dan lingkungan yang baru inilah, Teh Dian mengenal bipolar. Tidak mudah baginya untuk memahami gangguan bipolar ini maupun memahami keadaan santri tersebut. Karena terlampau memikirkan soal ini, ia jatuh sakit dan bahkan sempat ingin menyerah. Namun kebiasaan Teh Dian yang selalu melibatkan semua urusannya dengan Allah telah membuatnya mampu menerima semua ketetapan dari Allah dengan rasa nyaman dan tenang. Bahkan Teh Dian merasa bersyukur berada di lingkungannya saat ini, salah satunya karena memperoleh pekerjaan yang bukan hanya dunia yang didapatkan, namun akhirat pun dapat.
Selain dihadapkan pada santri yang mempunyai gangguan mental, Teh Dian juga harus membimbing santri yang sebelumnya sangat jauh dari ilmu agama dan lingkungan Islami. Salah satu santri bernama Ananda Namira, atau yang sering disapa Nami. Tanpa memiliki alasan dan motivasi apapun, hanya karena mematuhi perintah ibunya, Nami harus mengikuti program DQ ini. Awalnya Nami menjalani semua kegiatan hanya untuk mematuhi perintah ibunya. Namun, setelah ia menjalani program ini, Nami sadar bahwa banyak pelajaran dan pengalaman berharga yang ia peroleh di tempat tersebut. Walaupun sempat kesulitan untuk menyesuaikan diri, namun Nami sadar bahwa sebelumnya ia sudah sangat jauh dari Allah, yang membuat hidupnya tidak terarah dan teratur.
Meskipun baru 12 hari menjalani program tersebut, namun Nami mulai merasakan banyak perubahan baik pada dirinya saat ini. Ia mulai dapat belajar hidup dengan teratur, dimudahkan untuk shalat 5 wajib dengan tepat waktu, lebih dekat dengan Al-Qur’an, dan mendapatkan ilmu-ilmu baru, seperti dapat menghafal surat-surat dalam Al-Qur’an, menghafal do’a-do’a, belajar tahsin, fiqih, ketauhidan, dan belajar mendeteksi penyakit hati.
Lantas apa yang dirasakan Teh Dian setelah menjalani peran sebagai musyrifah?, “Lingkungan ini menuntut saya untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, sebelum saya menuntut mereka untuk menjadi baik,” kata Teh Dian, “Selain itu, saya juga banyak mendapatkan pelajaran dari mereka. Bertemunya saya dengan mereka menjadi salah satu jalan dari Allah untuk proses pendewasaan saya.”
Menjadi seorang musyrifah memang bukan hal yang mudah, namun dengan keyakinan yang kuat kepada Allah, semua terasa mudah untuk dijalani. Begitupun dengan Nami, yang harus menjadi seorang santri. Walaupun itu tidak terbayangkan sebelumnya, namun jika dijalani dengan penuh rasa syukur, semua terasa mudah. >> [Foto: Rahma]