Tantangan Berdakwah di Media Baru

Tantangan Berdakwah di Media Baru

OPINI oleh HESTI FAUZIAH, Mahasiswi Prodi KPI STAI Daarut Tauhiid Bandung

Allah yang maha sempurna dengan segala curahan rahmat-Nya mengantarkan manusia pada fitrahnya yaitu beribadah, bermuamalah, dan juga tak kalah penting lagi adalah kewajiban untuk berdakwah. Salah satu dari banyak tanda-tanda kekuasaan Allah adalah adanya suatu zaman di mana kecanggihan teknologi mampu merampas kebiasaan-kebiasaan lama. Budaya seakan lebur oleh silaunya fenomena yang ada. Masyarakat lama menangis, bahkan meringis, seakan syok dengan perubahan yang ada.

Apakah perubahan ini merupakan tantangan atau peluang?

Pertanyaan itu seakan melintas di benak para da’i, tetapi satu hal yang pasti, yaitu bahwa keberhasilan hanya akan didapat oleh mereka yang bergerak dan menjadikan tantangan sebagai peluang. Di era konvergensi media ini, semua hal dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Tanpa perlu kemana-mana, informasi yang sedang trending sudah tersedia di depan mata. Untuk menikmati santapan, tak perlu jalan-jalan ke kaki lima, cukup menekan tombol pada aplikasi gofood di ponsel.

Seperti kita tahu, media elektronik seperti handphone sudah menjadi bagian dari mobilitas. Manusia-manusia di dunia berlomba-lomba untuk menjadi penguasa dengan masing-masing tujuan yang berbeda-beda. Peran para pegiat dakwah tidak kalah merekah, mereka dengan segala kemampuannya berusaha mencurahkan setitik cahaya untuk milyaran manusia di berbagai penjuru dunia. Berbagai upaya pun dilakukan demi tata nilai Islam yang terus bertebaran, tak mengizinkan cahaya itu lekang diterpa zaman.

Dengan mudahnya beragam informasi bermunculan di berbagai platform manapun, sehingga membuat pengguna media sosial mudah tergiur dengan isi konten di dalamnya. Mulai dari kalangan belia, pemuda, hingga kalangan lanjut usia, setiap hari menjadi konsumen berita di berbagai media. Sayang sungguh sayang, tidak semua orang bertanggung jawab dan bijak menggunakan sosial media. Merebaknya budaya Barat seakan telah mendoktrin kaum muda, baik dalam beretika, bergaya, maupun beragama. Tidak sedikit pula masyarakat menggunakan sosial media untuk ladang pamer dan foya-foya, untuk menggunjing bahkan fitnah sana-sini, untuk merendahkan satu sama lain, dan bahkan dengan sengaja ataupun tidak ada oknum-oknum yang ingin merusak citra Islam dan bahkan mendoktrin penggunanya untuk keluar dari nilai-nilai Islam.

Ini merupakan tantangan sekaligus peluang untuk para dai dimana pun berada. Para dai dituntut untuk bisa mengenal media lebih dalam, meracik kajian dengan serapih-rapihnya agar pengguna media tertarik dengan konten yang dikreasi, tentu saja dengan mengharap hidayah Allah subhanahu wata’ala. Ini merupakan ikhtiar manusia untuk terus menyiarkan agama Allah subhanahu wata’ala. Cacian dan makian, bahkan ungkapan ujaran kebencian, ketika berdakwah merupakan hal yang biasa. Bagaimana tidak, seorang panutan mulia, manusia sempurna seperti Rasulullah saw pun ada yang tidak menyukai, bahkan membencinya. Apalah daya kita, yang iman dan ilmunya tidak seberapa. Seorang dai sejati tak akan tumbang ketika dicaci, tak akan terbang ketika dipuji. Menjadi manusia baik saja tidak cukup, ikhtiarlah untuk menjadi sebaik-baiknya manusia, dengan menebarkan cinta untuk sesama, dengan saling mengingatkan tentang agama.

Berdakwah bukan hanya tugas seorang kyai atau ustadzi, melainkan tugas semua umat Islam di mana pun berada. Seorang alim pernah berkata, “semua orang adalah pendakwah.” Saya sangat setuju dengan kalimat itu, bahwa kita bisa berdakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita. Seorang pedagang berdakwah dengan ikhtiar untuk tidak berniat curang, seorang mahasiswa berdakwah dengan ilmu dan kapasitasnya sebagai mahasiswa, seorang anggota dewan berdakwah dengan membuat kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan syari’at islam. Banyak cara untuk berdakwah, banyak media yang bisa menjadi wadah.

Kecanggihan media dan kemudahan dalam berdakwah pun sudah kita ketahui bersama. Tidak selalu mimbar untuk berdakwah, tidak selalu mikropon untuk menyuarakan kebenaran. Akun sosial media yang antum-antum gunakan bisa menjadi ladang untuk mengubah paradigma masyarakat terkait agama Islam, cukup dengan membuat konten-konten baik, berupa tulisan berhiaskan nasyid atau nyanyian bernuansa Islam. Media seperti Youtube, Instagram, Facebook, dan lain-lain digunakan oleh jutaan orang, tapi sedikit sekali mereka yang memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kurangnya etika dalam bermedia sosial menjadi PR tersendiri bagi para da’i untuk bisa memberikan edukasi melalui media sosial itu sendiri.

Puji syukur alhamdulillah, tidak sedikit kaum muda yang melek teknologi dan agama, yang akhirnya menjadi perpaduan yang sempurna. Mereka menyajikan konten-konten berbau Islami yang kontemporer, yang dapat dinikmati oleh semua kalangan. Para assatidz dan para ustadz, yang tak kalah kerennya, mampu mengikuti perkembangan zaman. Kekuatan inilah yang harus kita jaga, semangat jihad inilah yang harus terus membara.

Semangat berdakwah yang tinggi akan mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Ayo terus ciptakan konten-konten Islam yang berkualitas, jangan biarkan budaya Barat mengambil celah untuk merusak. Aa gym pernah berkata, “Jangan menuntut orang lain untuk berubah, tapi berubahlah dan bantu orang lain untuk berubah.” Sederhana, tapi bermakna. Bagaimanapun upaya kita dalam menyuarakan nilai-nilai agama, hidayah Allah tidak bisa dibeli dengan materi dan tidak bisa ditukar dengan alat tukar manapun. Hidayah hanya Allah yang menggeggam, tidak harus benci pada yang mencaci, tidak perlu geram kepada yang tidak mendengar, sesulit apapun jalan dakwah ini akan tetap hidup jika ada Allah di dalamnya.

Seorang bijak pernah berkata, “Dakwah adalah cinta, dan cinta akan mengambil semuanya darimu, mulai dari waktu tidurmu, materimu, pikiranmu, ragamu, bahkan jiwamu.” Semangat juang para umat terdahulu harus kita pupuk dalam diri kita, karena bukan hanya orang lain yang memicu hancurnya Islam, tetapi umat Islam sendiri ikut berkontribusi. Semoga Allah jaga semangat dan tekad pendakwah masa kini. >>